Rabu, 29 Januari 2014

PERISTIWA HEBAT SAAT KELAHIRAN RASULULLAH SAW


Rasulullah saw telah dilahirkan pada hari Senin. Pada hari kelahiran Beliau, telah timbul 7 Mu'jizat. Yaitu :

1. Setiap wanita yang mengandung, akan merasakan susah payah dari kandungannya itu, sedangkan ibunda Rasulullah saw sama sekali tidak merasakan hal tersebut.

2. Tiap-tiap wanita yang akan melahirkan merasakan rasa sakit (makhoodl), dan itu tidak dirasakan oleh ibunda Rasulullah saw sama sekali.

3. Setelah Rasulullah saw dipisahkan dari Ibunya sehabis di lahirkan, maka Beliau langsung sujud kehadirat Allah Ta'ala, seraya mengatakan; "Ummatku, ummatku!"

4. Rasulullah saw lahir dalam keadaan sudah dikhitan.

5. Setan-setan dilarang naik ke langit, ketika Rasulullah saw dilahirkan. Padahal sebelumnya setan-setan itu dapat naik turun ke langit untuk mendengarkan percakapan-percakapan yang dilakukan para malaikat.

Ketika mereka dilarang naik ke langit, maka mereka berkumpul pada Iblis alaihilla'nah (raja setan), mereka berkata;
"Dahulu kami bisa naik ke langit, tetapi hari ini kami telah di larang untuk naik"
Iblis menjawab;
"Menyebarlah kalian di muka bumi, dari barat sampai timur, dan perhatikan dengan seksama apa yang sebenarnya telah terjadi!"

Mereka lalu menyebar. Setelah mengeliling bumi dari timur ke barat, sampailah mereka ke kota Mekah. Disana tampak oleh mereka Nabi kita sedang dikelilingi para malaikat, dan memancar cahaya dari dirinya hingga mencuat ke langit, sedangkan para malaikat-malaikat itu saling memberi ucapan selamat satu dengan yang lain.

Kemudian setan-setan itu kembali menghadap Iblis, sambil menceritakan semua apa yang telah mereka saksikan itu.
Maka Iblis pun berteriak dengan suara yang sangat keras;
"Aaaaah, telah keluar “ayatul 'alam” dan rahmat bagi bani Adam, karena itulah kalian telah dicegah untuk naik ke langit, tempat pandangannya dan pandangan umatnya!!"

Apabila setan-setan itu tidak mendapatkan suatu upaya untuk naik ke langit, karena langit itu sebagai tempat memandang bagi orang-orang beriman, betapa pula ia akan mendapatkan jalan memasuki hati, yang menjadi tempat pandangan Allah?!

Ka'bul Akhbar ra berkata; "Saya telah melihat di dalam Taurat bahwa Allah Ta'ala telah mengabarkan kepada Kaum Musa tentang saat keluarnya Muhammad saw;
“Sesungguhnya bintang tetap yang telah kamu ketahui itu, bila ia bergerak dari tempatnya menandakan bahwa Rasulullah saw telah keluar”
Ketika Rasulullah saw lahir, bintang itu pun bergerak dan pindah dari dari tempat asalnya. Maka orang-orang Yahudi itu semuanya mengetahui bahwa Rasul yang di beritakan Allah itu telah lahir ke dunia, namun mereka merahasiakan di sebabkan kedengkian mereka juga.

Allah juga telah mengabarkan kepada kaum Isa as di dalam kitab Injil:
“Bahwasanya apabila pohon kurma kering mengeluarkan daun-daunan, maka itu menandakan keluarnya Rasulullah ke dunia”
Ketika Rasulullah saw lahir, pohon kurma yang kering dan layu menjadi segar, berdaun dan berbuah. Melihat hal itu, orang-orang Nasrani itu pun mengetahui bahwa Rasul yang di janjikan Allah di dalam kitab Injil itu telah lahir ke dunia. Tetapi hal itu mereka rahasiakan, di sebabkan kedengkian mereka juga.

Di dalam kitab Zabur pun Allah mengabarkan;
“Apa bila mata air yang telah mereka kenal mengeluarkan air, maka tandanya Rasul yang dijanjikan kepada mereka itu telah muncul ke muka bumi”
Tepat ketika Rasulullah saw di lahirkan, mata air itu mengeluarkan air yang berlimpah. Mereka pun mengetahui akan hal itu, namun kedengkian mereka, berita itu mereka rahasiakan pula

6. Halimah, yaitu ibu susu Rasulullah saw, sebelum ia menyusukan Rasulullah saw salah satu susunya tidak mengeluarkan air susu, lalu tatkala ia menetekkan susunya ke mulut Rasulullah saw, ketika itu juga keluar air susunya dengan deras.

7. Ketika Rasulullah saw di lahirkan, terdengar suara tanpa rupa dari sudut-sudut Ka'bah;

Dari sudut pertama terdengar suara;
“Telah datang kebenaran (Islam) dan kebatilan (kekufuran) tidak akan kembali lagi.”
Dari sudut kedua terdengar suara;
“Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyanyang terhadap orang-orang Mu'min”
Dari sudut ketiga terdengar ucapan;
“Telah datang kepadamu cahaya (Nabi) dari Allah, dan kitab (Al-Qur'an) yang menerangkan”
Dari sudut keempat terdengar ucapan;
“Hai Nabi, sesungguhnya kami mengutusmu untuk menjadi saksi, dan pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan, dan untuk menjadi penyeru kepada agama Allah dengan izinNya dan untuk menjadi cahaya yang menerangi”

Subhanallah.....

Ya Allah..
Tanamkan selalu hidayah_Mu di dalam hati kami.
Kerana hanya Engkau-lah yang mampu memberi petunjuk kepada kami.

Semoga kita termasuk umat yang dirindukan Rasulullah SAW.

Aamiin Ya Rabbal 'Alamiin.

Selasa, 31 Mei 2011

Buanglah rasa cemas

Buanglah Rasa Cemas!
Tak usah bersedih, karena Rabb-mu berfirman,
{Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu.}
(QS. Al-Insyirah: 1)
Pesan ayat ini bersifat umum untuk setiap orang yang menerima
kebenaran, melihat cahaya dan menempuh hidayah. Allah juga berfirman,
{Maka, apakah orang-orang yang dibukakan hatinya oleh Allah untuk
(menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Rabb-nya (sama dengan
orang yang membatu hatinya)? Maka, kecelakaan yang besarlah bagi mereka
yang telah membatu hatinya.}
(QS. Az-Zumar: 22)
Maka dari itu, menjadi jelas bahwa ada kebenaran yang akan
melapangkan dada dan ada kebatilan yang akan membuat hati menjadi keras.
Allah berfirman,
{Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk) Islam.}
(QS. Al-An'am: 125)

Ini menandakan bahwa Islam merupakan suatu tujuan yang hanya
dapat dicapai oleh orang yang memang dikehendaki Allah.

{Janganlah kamu bersedih sesungguhnya Allah bersama kita.}
(QS. At-Taubah: 40)

Demikian Allah berfirman. Dan kalimat seperti itu hanya akan
diucapkan oleh orang yang sangat yakin dengan pengawasan, perlindungan, kasih sayang dan pertolongan Allah. membagi waktunya. Yakni, ia perlu membagi waktu kapan ia harus bekerja,
merenung, dan mencari hiburan. Dalam hal membaca pun, Anda perlu variasi;
kapan Anda harus membaca al-Qur'an, tafsir, sirah Rasulullah, hadits, fikih, sejarah, sastra dan ilmu pengetahuan umum. Demikian pula dalammenjalankan kegiatan rutin harian, Anda harus dapat menentukan kapan waktu untuk beribadah, mencari hiburan, mengunjungi relasi, menerima tamu, berolahraga, dan berekreasi. Dengan begitu, niscaya jiwa Anda akan selalu merasa segar dan bergairah.

{(Yaitu) orang-orang (yang mentaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan: "Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka", maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: "Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaikbaik Pelindung."}
(QS. Ali 'Imran: 173)
Yakni, bahwa pemenuhan dan perlindungan Allah sudah sangat cukup
bagi kita.

{Hai Nabi, cukuplah, cukuplah Allah (menjadi pelindung) bagimu dan bagi orang- orang mukmin yang mengikutimu.}
(QS. Al-Anfal: 64)

Dan, siapapun yang menempuh jalan tersebut akan memperoleh
kemenangan sebagaimana yang disebutkan dalam ayat tersebut.
{Dan, bertawakalah kamu kepada Allah Yang Maha Hidup (Kekal) Yang tidak mati.}
(QS. Al-Furqan: 58)

Yakni, selain Allah akan mati, tidak akan hidup selamanya, akan sirna
dan tak abadi. Dan derajatnya pun rendah dan tidak mulia.

{Bersabarlah (hai Muhammad) dan tidaklah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah engkau bersedih hati terhadap (kekafiran) dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan.

Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang berbuat kebaikan.}
(QS. An-Nahl: 127-128)

Ayat ini melukiskan tentang bagaimana penyertaan khusus Allah
terhadap para wali-Nya, yakni dengan cara selalu menjaga, mengawasi, membantu dan melindungi mereka sesuai dengan kadar ketakwaan dan jihad mereka.

{Dan, janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.}
(QS. Ali 'Imran: 139)

Maksudnya adalah ketinggian tingkat ubudiyah dan kedudukannya di
sisi Allah.

{Mereka sekali-kali tidak akan dapat membuat mudharat kepada kamu, selain dari gangguan-gangguan celaan saja, dan jika mereka berperang dengan kamu, pastilah mereka berbalik melarikan diri ke belakang (kalah). Kemudian, mereka tidak mendapat pertolongan.}
(QS. Ali 'Imran: 111)

{Allah telah menetapkan: "Aku dan rasul-rasul-Ku pasti menang." Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.}
(QS. Al-Mujadilah: 21)

{Sesungguhnya Kami menolong rasul-rasul Kami dan orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia dan pada hari berdirinya saksi-saksi (hari Kiamat).}
(QS. Al-Mu'min: 51)

Bentuk ketetapan pada kalimat ini merupakan janji Allah yang tidak
akan pernah diingkari dan tidak akan pernah ditunda.

{Dan, aku menyerahkan urusanku kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya. Maka, Allah memeliharanya dari kejahatan tipu daya mereka, dan Fir'aun beserta kaumnya dikepung oleh azab yang amat buruk.}
(QS. Al-Mu'min: 44-45)

{Dan, hanya kepada Allah-lah orang-orang mukmin bertawakal.}
(QS. Ali 'Imran: 122)

Janganlah bersedih! Anggap saja diri Anda tidak akan hidup kecuali
sehari saja, sehingga mengapa Anda harus bersedih dan marah pada hari ini?
Dalam sebuah atsar disebutkan: Ketika pagi tiba, janganlah menunggu
sore; dan ketika sore tiba, janganlah menunggu datangnya pagi.
Artinya, hiduplah dalam batasan hari ini saja. Jangan mengingat-ingat
masa lalu, dan jangan pula was-was dengan masa yang akan datang.

Seorang penyair berkata,
Yang lalu telah berlalu, dan harapan itu masih gaib dan engkau pasti punya waktu di mana engkau harus ada Menyibukkan diri dengan mengingat masa lalu, dan meratapi kembali kegetiran-kegetiran hidup yang pernah terjadi dan telah berlalu, adalah sebuah ketololan dan kegilaan.
Pepatah Cina menyebutkan: "Jangan dulu menyeberangi jembatan
sebelum Anda sampai di jembatan itu."
Artinya, jangan bersikap apriori terhadap kejadian-kejadian yang belum tentu terjadi, sampai Anda benar-benar mengalami dan merasakannya sendiri.

Salah seorang ulama salaf mengatakan: "Wahai anak Adam, hidupmu
itu tiga hari saja: hari kemarin yang telah berlalu, hari esok yang belum datang, dan hari ini di mana Anda harus bertakwa kepada Allah!"
Bagaimana orang yang masih menanggung beban berat kesedihan masa lalu dan kecemasan terhadap masa depan dapat hidup tenang hari ini?
Bagaimana mungkin orang yang selalu mengingat-ingat sesuatu yang telah lewat dan telah berlalu akan tenang dalam hidupnya hari ini? Pasalnya, pastilah waktunya akan habis untuk meratapi semua kesedihan yang telah berlalu itu. Dan pada akhirnya, semua itu sama-sama tidak ada gunanya.
Atsar yang berbunyi: Jika pagi tiba, janganlah menunggu sore; dan jika sore tiba, janganlah menunggu hingga waktu pagi, dapat pula diartikan bahwa Anda harus membatasi angan-angan Anda, menunggu ajal yang sewaktu waktu menjemput Anda, dan selalu berbuat yang terbaik. Jangan larut dalam kecemasan-kecemasan di luar hari ini. Kerahkan segala kemampuan untuk hari ini. Berbuadah semaksimal mungkin, dan pusatkan konsentrasi Anda untuk melakukan sesuatu dengan cara meningkatkan kualitas moral,
menjaga kesehatan, dan memperbaiki hubungan dengan sesama.

(La Tahzan, Aidh Al Qarni)

Hiasi Dirimu dengan Malu

Semoga Allah Ta’ala senantiasa merahmatimu, saudariku… Malu, demikianlah nama sebuah sifat yang sangat lekat ketika kita berbicara tentang wanita. Maka beruntunglah engkau saudariku ketika Allah menciptakanmu dengan sifat malu yang ada pada dirimu! Karena apa? Hal ini tidak lain karena malu adalah bagian dari iman.

Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melewati seorang Anshar yang sedang menasehati saudaranya karena sangat pemalu, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Biarkan dia karena rasa malu adalah bagian dari Iman.” (HR. Bukhari Muslim)

Hakikat rasa malu itu adalah sebuah akhlak yang memotivasi diri untuk meninggalkan hal-hal yang buruk dan membentengi diri dari kecerobohan dalam memberikan hak kepada yang berhak menerimanya. Seorang muslimah akan menjauhkan dirinya dari larangan Allah dan selalu menaati Allah disebabkan rasa malunya kepada Allah yang telah memberikan kebaikan padanya yang tidak terhitung.

Perintah yang Dibawa oleh Setiap Nabi

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya di antara yang didapat manusia dari kalimat kenabian terdahulu ialah: Jika engkau tidak malu, berbuatlah sekehendakmu.” (HR. Bukhari)

Yang dimaksud dengan “kalimat kenabian terdahulu” ialah bahwa rasa malu merupakan akhlaq yang terpuji dan dipandang baik, selalu diperintahkan oleh setiap nabi dan tidak pernah dihapuskan dari syari’at para nabi sejak dahulu.

Dalam hadits ini disebutkan, “Jika engkau tidak malu, maka berbuatlah sesukamu.” Kalimat ini mengandung 3 pengertian, yaitu:

1. Berupa perintah: Jika perbuatan tersebut tidak mendatangkan rasa malu, maka lakukanlah. Karena perbuatan yang membuat rasa malu jika diketahui orang lain adalah perbuatan dosa.
2. Berupa ancaman dan peringatan keras: Silahkan kamu melakukan apa yang kamu suka, karena azab sedang menanti orang yang tidak memiliki rasa malu. Berbuat sesuka hati, tidak peduli dengan orang lain.
3. Berupa berita: Lakukan saja perbuatan buruk yang kamu tidak malu untuk melakukannya.

Malu? Siapa yang punya?

Sifat malu ada dua macam, yaitu:

1. Malu yang merupakan watak asli manusia

Sifat malu jenis ini telah menjadi fitrah dan watak asli dari seseorang. Allah menganugerahkan sifat malu seperti ini kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Memiliki sifat malu seperti ini adalah nikmat yang besar, karena sifat malu tidak akan memunculkan kecuali perbuatan yang baik bagi hamba-hamba-Nya.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, dari Imran Ibn Hushain radhiyallahu’anhu: “Rasa malu itu tidak mendatangkan kecuali kebaikan.” (HR. Bukhari Muslim)

2. Malu yang diupayakan (dengan mempelajari syari’at)

Al-Qurthubi berkata, “Malu yang diupayakan inilah yang oleh Allah jadikan bagian dari keimanan. Malu jenis inilah yang dituntut, bukan malu karena watak atau tabiat. Jika seorang hamba dicabut rasa malunya, baik malu karena tabiat atau yang diupayakan, maka dia sudah tidak lagi memiliki pencegah yang dapat menyelamatkannya dari perbuatan jelek dan maksiat, sehingga jadilah dia setan yang terkutuk yang berjalan di muka bumi dalam wujud manusia.”

Hati-Hati terhadap Malu yang Tercela

Saudariku, ketahuilah bahwa ada malu yang disebut malu tercela, yaitu malu yang menjadikan pelakunya mengabaikan hak-hak Allah Ta’ala sehingga akhirnya dia beribadah kepada Allah dengan kebodohan. Di antara malu yang tercela adalah malu bertanya masalah agama, tidak menunaikan hak-hak secara sempurna, tidak memenuhi hak yang menjadi tanggung jawabnya, termasuk hak kaum muslimin.

Nah, saudariku, kini engkau tahu! Meskipun malu adalah tabiat dasar seorang wanita, sifat ini tidak boleh menghalangimu untuk berbuat kebaikan. Berlomba-lombalah dalam berbuat kebaikan sampai engkau menjadi wanita yang paling mulia di sisi Allah! Wallahu a’lam.

Maraaji’:

1. Syarah Hadits Arba’in Imam Nawawi
2. Tarjamah Riyadhus Shalihin Jilid 2 Imam Nawawi, Takhrij: Syaikh M. Nashiruddin Al-Albani.
3. Buletin Tuhfatun Nisa: Rufaidah.

Damaikan Pertikaian Antara Saudara Muslim mu

Ketahuilah bahwa di antara perkara yang sangat diperhatikan oleh agama Islam adalah terbentuknya masyarakat yang solid dengan menciptakan perdamaian antara mereka yang bertikai. Setiap individu berusaha secara bersama dalam menyatukan kembali sendi-sendi masyarakat tercerai berai, memperbaiki bagian yang terpecah dan hasil yang ingin dituju adalah terbentuknya masyarakat yang baik dan tegaknya jama’ah dalam kesatuan, saling menguatkan dalam menjaga hak-hak pribadi, tolong menolong, dan saling membantu dalam mewujudkan hak-hak bersama dengan mengembangkan sikap berani berkoraban, mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi, menjaga kehormatan dan membela kemaslahatan masyarakat.

Allah Subhanahuwata’ala dalam al-Quran berfirman;


قال الله تعالى: ﴿لاَّ خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِّن نَّجْوَاهُمْ إِلاَّ مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلاَحٍ بَيْنَ النَّاسِ وَمَن يَفْعَلْ ذَلِكَ ابْتَغَاء مَرْضَاتِ اللهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا

“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah,atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barang siapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.” (QS. Al-Nisa’: 114).

Allah juga telah menjanjikan pahala yang paling baik dan besar bagi setiap orang yang berupaya memperbaiki pertiakain yang terjadi antara sesama manusia dalam segala urusan mereka, guna menjaga persatuan jama’ah kaum muslimin.

Rasulullah Muhammad shallallahu alaihi wa sallam mengatakan, “Apakah kalian mau jika aku beritahukan kepada kalian tentang perbuatan yang paling baik dari puasa, shalat dan shadaqah?. Mereka menjawab: Mau wahai Rasulullah?. Beliau menjawab, “Yaitu mendamaikan pertikaian antara sesama muslim, sesungguhnya rusaknya hubungan antara sesama muslim adalah sebagai pemangkas, aku tidak mengatakan memangkas rambut namun dia bisa memangkas agama.” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Turmudzi).

Menghancurkan kekuatan

Banyak kaum Muslim tak menyadari, bahwa pertikaian, memutuskan tali silaturrahmi dan persaudaraan --padahal Allah memerintahkan untuk tetap menyambungnya—hanya akan menghancurkan kekuatan umat dan menciptakan kerusakan di muka bumi ini.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:


قال الله تعالى: ﴿وَاعْتَصِمُواْ بِحَبْلِ اللهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُواْ وَاذْكُرُواْ نِعْمَةَ اللهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَاء فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنتُمْ عَلَىَ شَفَا حُفْرَةٍ مِّنَ النَّارِ فَأَنقَذَكُم مِّنْهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ

“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliah) bermusuh- musuhan maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (QS. Ali Imron: 103).

Dalam surat lain, Allah Subhanhu Wa Ta’ala juga berfirman:

“…dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Anfal: 46).

Seandainya penyakit seperti ini bisa ditanggulangi sejak dini dan dituntaskan dari sumbernya niscaya kekuatan kebaikan akan mengalahkan arus keburukan, dan jama’ah akan selamat dari segala perpecahan .

Oleh karena itu, umat Islam haruslah kembali ke niat awal dalam agama. Janganlah terpedaya oleh kehidupan dunia ini dan janganlah terpedaya oleh apapun. Seorang Muslim yang baik, haruslah memperhatikan kemaslahatan pribadinya.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Orang yang cerdas adalah orang yang menundukkan hawa nafsunya dan berbuat untuk kemaslahatan setelah kematiannya dan orang yang lemah adalah orang yang mengikuti hawa nafsunya dan berangan-angan dengan angan-angan yang banyak”. (HR. Turmudzi).

Rasulullah juga berpesan;

“Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.” (QS. Al-Hujurat: 9-10).

Rasulullah Muhammad shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Tidakkah aku tunjukkan kepada kalian tentang shadaqah yang dicintai oleh Allah dan RasulNya?. Yaitu engkau mendamaikan antara manusia jika mereka saling marah dan hubungan mereka telah rusak”.

Banyaknya ayat dan nasehat Nabi tentang ini menunjukkan jika beliau ingin umatnya kuat dan tak suka berpecah-belah.

Untuk menjaga agar barisan Islam kuat, bahkan Islam yang sangat melarang seseorang berbuat bohong, namun dibolehkan jika dalam kondisi itu dilakukan untuk “menjinakkan hati” dan mempersattukan barisan umat.

Sebagaimana sabna Nabi, “Bukan pembohong orang yang berbohong dalam rangka mendamaikan antara orang yang bertikai untuk menciptakan kebaikan dan berkat yang baik”. (Muttafaq Alaihi).

Marilah kita bersatu, damaikanlah yang sedang berseteru agar tubuh umat Islam kembali kuat. Karena Allah hanya menyukai barisan umat yang kuat.

"Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berjuang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur, seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh." (Ash-Ahaff: 4). */ish

Peliharalah Iman, Bersahabatlah dengan Orang Shalih

Dalam kitab Al-Arba’in fi Ushul al-Din, Imam al-Ghazali mengatakan bahwa berkawan dengan orang baik karena Allah adalah salah satu pilar memperkuat agama (Kitab Al-Arba’in fi Ushul al-Din, hal. 63).

Allah SWT berfirman: “Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah ialah rumah laba-laba jika mereka mengetahui.” (QS. Al-‘Ankabut: 41).

Pergaulan merupakan faktor yang mempengaruhi pemikiran, lebih-lebih keimanannya. Seseorang dapat menjual iman, karena tergiur tipuan kawannya. Sebaliknya, seseorang bisa menjadi orang shalih karena selalu dinasihati teman dekatnya.

Maka dari itu, Rasulullah SAW bersabda: “Seseorang dapat dinilai dari agama kawan setianya, maka hendaklah di antara kalian melihat seseorang dari siapa mereka bergaul.” (HR. al Hakim).

Yang harus diutamakan kawan adalah orang yang berilmu. Sebab sedikit atau banyak akan mempengaruhi pemikiran kita.

Dituturkan oleh Rasulullah SAW bahwa, lebih baik bersendiri dari pada bergaul dengan orang-orang yang rusak. Dan lebih baik bergaul dengan orang-orang baik daripada menyendiri (HR. Al Hakim).

Orang baik (ahl al-khoir) adalah orang yang beriman, bertakwa dan berakhlak mulia. Individu yang baik ini adalah orang yang beradab. Bukan sekedar beretika, tapi juga bertauhid.

Syed Muhammad Naquib al-Attas mendefinisikan orang baik sebagai orang yang mengamalkan adab secara menyeluruh.

Pengamalan adab ini meliputi adab kepada Allah SWT, sebagai tingkatan adab tertinggi. Kemudian adab dengan sesama manusia, kepada ilmu, kepada alam dan sebagainya. Adab-adab ini dipandang dengan kacamata tauhid.

Karena orang baik (insan adabi) memberi pencerahan dalam segala aspek bidang kehidupan, makanya Rasulullah SAW menganjurkan kita untuk mempergaulinya.

Orang yang demikian akan melihat realitas secara konstan dari kacamata ketuhanan – sebagai fondasi utamanya. Orang yang demikianlah yang dimaksud Rasulullah SAW untuk kita pergauli. Tidak memberi faedah kecuali faedah agama.

Sebaliknya, bergaul dengan orang-orang dzalim dan lalai bisa membutakan hati. Allah SWT bersabda: “Dan janganlah kamu condong kepada orang-orang dzalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka. Dan sekali-kali kamu tiada mempunyai seorang penolong pun selain dari Allah SWT, kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan.” (HR. QS. Hud: 113).

Condong dalam ayat tersebut di atas maksudnya, mendukung, melapangkan jalan, memuji-muji dan bersekutu bersama mereka. Tujuannya tidak lebih untuk kepentingan materialistik.

Setiap kita bergaul secara akrab dengan orang-orang lalai maka, saat itu iman kita mengalami pelemahan (Kitab Al-Arba’in fi Ushul al-Din, hal. 61). Duduk bersama orang-orang fasik oleh Rasulullah SAW dikaitkan dengan kadar keimanannya. Tidak mungkin orang beriman bergaul akrab bersama mereka dalam bersekutu melakukan aktifitas tidak baik.

Rasulullah SAW bersabda: "Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, janganlah ia duduk (di suatu majelis) yang dihidangkan padanya minuman keras.” (HR. Abdu Dawud dan Ibn Majah).

Ketika kita memiliki kecondongan kepada mereka, maka cepat-cepatlah memutus kecondongan itu. Sebab dikhawatirkan akan mendapatkan kemungkaran. Karena mereka sangat pandai dalam tipu daya dan penipuan. Terkecuali jika kita memiliki misi khusus, berbekal ilmu akan mendakwahi mereka. Sikap ini bukan dinamakan memiliki kecondongan sebab tujuannya adalah dakwah.

Pernah Khalifah ‘Umar bin Abdul ‘Aziz mendapat laporan tentang adanya suatu kaum yang sedang meminum khamr. Beliaupun memerintahkan agar mereka semua dicambuk. Kemudian seseorang berkata kepada beliau; "Sesungguhnya di antara mereka ada orang yang sedang berpuasa."

'Umar bin Abdul 'Aziz menjawab: "Mulailah darinya (dalam mencambuk). Tidakkah kalian mendengar firman Allah SWT: “Dan sesungguhnya Allah SWT telah menurunkan kepada kalian di dalam al-Qur’an bahwa apabila kalian mendengar ayat-ayat Allah SWT diingkari dan diperolok-olok, maka janganlah kalian duduk bersama mereka. Sehingga mereka pindah kepada pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (jika kalian berbuat demikian), maka tentulah kalian serupa dengan mereka.” (QS. Al-Nisa’ : 140).

Hal yang perlu digari bawahi di sini adalah, sebenarnya bergaul dengan siapa pun kita mesti memiliki cara pandang Islam yang kokoh. Semua harus atas dasar berukhuwah karena Allah SWT. Jika kita ingin memasuki majelis orang-orang fasik, maka pertama-tama yang harus dipertanyakan dalam hati adalah, atas dasar apa kita masuk dalam majelis itu?

Jika dasarnya adalah karena Allah SWT dengan maksud berdakwah, maka itu adalah langkah baik. Memberi nasihat, meluruskan padangan orang-orang fasik dan mengajak bertaubat. Jika kita mendapati sebuah majelis di dalamnya ajaran Islam dihina, maka jika kita mampu maka luruskan mereka atau janganlah duduk-duduk bersama. Jika kita diam, berarti kita setuju dengan mereka.

Namun, jika iman kita masih lemah. Terlalu mudah terbuai godaan, maka lebih baik tidak memasukinya, dan sebaliknya bergabunglah bersama orang-orang shalih.
Faedah bergaul dengan orang shalih ada dua, yaitu mengambil ilmu dan menjaga keimanan agar tetap konstan. Iman itu diperkuat dengan ilmu, maka hendaklah kita mengambil faedah ilmu dari orang shalih agar keimanan selalu terjaga.*/Kholili Hasib

jawab aku

Adakah Kau melihatku..?
Sedikit saja sudah cukup..
Karena aku disini tergeletak tak berdaya..
Terseok bersimbah peluh rintih..
Akan kritisnya rasa kasihMu yg mulai mengikisi dinding karang cintaku yg terlebih menipis..
Di disini..
Di segumpal daging dalam benak yg setia menyebut namaMu setiap ku pilu..

Adakah Kau mendengarku..?
Hanya sekilas saja pun cukup..
Karena lisan ini sudah terkering dan bisu untuk berucap syair-syair rindu..
Kehausan menapaki jenjangan demaga tempatku menepis dahaga..
Dan disini ku hanya sendiri menjawab tanya..
Dan disini..
Di segumpal daging didalam benak ini ku hanya bisa menghiba pada sendiri..

Apalah daya aku tanpaMu?
Apalah arti hidupku tanpa tatihMu?
Jawab aku...
Sekarang...
Saat ini...
Aku dengan semua kecacatanku, mencoba mengejaMu yg tanpa cacat ini..
Dan ku harap ku bisa..
Tp cacatku tetap mencuat dibalik kesempurnaan itu..

Apalah sebuah hati ini?
Apalah tercipta jika selalu sakit?
Jawab aku..
Sekarang..
Dan saat ini pun ku tlah tersakiti hati..
Sakit..
Perih..
Tanpa ada cinta, selain cintaMu yg tahu, n tak berharap cinta yg lain tahu..
Dan ku harap jamahMu tetap memberikan ketenangan..
Sedikit saja...

Adakah Kau cinta?
Cintaku tlah menggila cinta padaMu..
Tp apakah ia kn tetap ada dikala..
Segumpal hati ini merintih..
Sedang diriku tlah...
Ingin MATI...

Jawab aku...

Lihatlah ke Bawah, Jangan Lihat Ke Atas

Manusia (al-insan) merupakan mahluk Allah yang paling sempurna, dan paling banyak menerima karunia-Nya, dibanding dengan yang lainnya. Namun, seringkali manusia lupa mensyukuri semua karunia itu. Padahal, karunia Ilahi yang datang silih berganti tanpa pernah kita syukuri hanya akan menambah kemurkaan Allah semata.

Banyak nikmat Allah telah kita sia-siakan. Dari yang terkecil hingga besar. Bayangkan, seandainya udara yang kita hirup dihargai dengan uang. Berapa banyak uang yang kita keluarkan hanya untuk membeli udara.

Belum lagi air yang setiap hari kita pakai. Alangkah Maha Pemurahnya Allah.
Berjalan dengan kedua kaki, melihat dengan kedua mata, dan bernafas merupakan nikmat yang tidak bisa tidak kita syukuri. Allah menciptakan manusia dan menyempurnakan penglihatan, pendengaran, dan mata hati, untuk dapat menjaga kualitas syukur kita atas semua pemberian-Nya.

Dalam al-Quran, Allah berfirman;

ثُمَّ سَوَّاهُ وَنَفَخَ فِيهِ مِن رُّوحِهِ وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ قَلِيلاً مَّا تَشْكُرُونَ

“Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur.” [QS: As Sajadah: 9]

Coba kita renungkan tentang susunan anatomi tubuh yang kompleks, rumitnya saluran darah, jaringan saraf, serta gumpalan otak dan hati, yang terakhir membuat derajat manusia lebih tinggi di antara mahluk Allah yang lain. Andai saja ada kerusakan sedikit di bagian otak kita, jaringan saraf terputus, dan aliran darah terhenti sesaat saja. Apa yang terjadi dalam tubuh kita?

Wujud Manisnya Iman

Kemampuan mensyukuri nikmat adalah salah satu wujud nyata dari manisnya iman. Ungkapan syukur tidak hanya di lisan. Melainkan mengejewantah dalam keseharian kita. Ibadah kian bertambah baik. Hubungan dengan tetangga makin harmonis. Kehidupan rumah tangga tambah berkah. Dan peran sosial kita semakin dapat dirasakan oleh masyarakat luas. Semua itu merupakan bentuk lain dari cara mensyukuri nikmat Allah Swt.

Tubuh kita merupakan nikmat Allah yang tiada tara. Alam raya dan segala hal yang ada di dalamnya, adalah tanda-tanda kekuasaan dan fasilitas Allah guna memanjakan mahluk-Nya yang bernama manusia. Bentangan bumi yang subur, dan perut bumi yang mengandung banyak karunia Ilahi. Semuanya diserahkan kepada manusia untuk mengelola dan menikmati hasilnya. Bila sudah sedemikian sayangnya Allah pada kita, sanggupkah kita mengingkari-Nya? Allah menegaskan dalam firman-Nya.

أَلَمْ تَرَوْا أَنَّ اللَّهَ سَخَّرَ لَكُم مَّا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَأَسْبَغَ عَلَيْكُمْ نِعَمَهُ ظَاهِرَةً وَبَاطِنَةً وَمِنَ النَّاسِ مَن يُجَادِلُ فِي اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَلَا هُدًى وَلَا كِتَابٍ مُّنِيرٍ

“Tidakkah kamu perhatikan Sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. dan di antara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa kitab yang memberi penerangan.” [QS: Luqman [31]: 20]
Pernah kita merasakan betapa nikmatnya sehat itu. Saat terbaring lemas di rumah sakit, saat makanan-makanan lezat dihidangkan, handai taulan yang datang membesuk, apa yang kita rasakan? Tubuh tak kuasa bergerak, lidah tidak dapat merasakan lezatnya hidangan yang tersedia, dan sapaan hangat handai taulan pun berlalu sedemikian dinginnya.

Merasa rendahkah kita, ketika hanya mampu makan sehari sekali, sedangkan banyak saudara kita yang tidak mampu makan, walau sehari sekali. Fenomena penyakit busung lapar yang sempat diekspos media massa beberapa waktu lalu (dan boleh jadi saat ini masih banyak namun tidak terekspos lantaran banyaknya peristiwa baru yang saling susul menyusul) menghentak kita untuk lebih memacu diri dalam mensyukuri nikmat Allah. Bagaimana kalau hal itu terjadi pada diri kita dan keluarga? Apa yang bisa kita lakukan.

Hinakah kita ketika fasilitas hidup yang kita terima tidak sama lebih rendah dibanding dengan tetanggga atau saudara kita yang lain. Penghasilan tidak sebanyak kolega kita. Karir tidak melejit secepat teman-teman seangkatan dengan kita dn bahkan di bawah kita? Demikian dengan suasana kerja tidak senyaman yang kita harapkan. Dapatkah kita mensyukuri semua itu sebagai nikmat.

Bersyukur kita, saat banyak orang yang kehilangan pekerjaan, kesulitan bertahan hidup, dan bekerja dalam penuh ketidakpastian masa depan dan jaminan penghasilan yang memadai. Kita masih bisa bertahan seperti apa yang kita alami kini. Kita masih dikaruniai nikmat sehat dan taat (ibadah).

Kita dianjurkan untuk selalu melihat siapa yang ada di bawah. Jangan dibiasakan mengukur tingkat kesejahteraan dan kemakmuran hidup dengan siapa yang ada di atas kita. Inilah yang dapat mendekatkan diri pada sikap dan perilaku kufur. Tentu yang dimaksudkan ini sebagai bagian rasa syukur, bukan sebagai legitimasi dan sikap kemalasan. Sebab sebagai pribadi Muslim, kita tetap diwajibkan terus berprestasi sampai ke tingkat paling atas dan beramal kebaikan sebanyak-banyaknya.

Pendorong Kekufuran

Sementara arus budaya kufur menggempur kita tiada terkira. Hampir-hampir iman kita terseret dalam arus budaya kufur. Sarana-sarana dan fasilitas kekufuran tersedia dengan porsi yang lebih besar ketimbang sarana untuk bersyukur. Budaya hedonis, konsumtif, dan kontraproduktif terbangun dengan sistematis. Dan ada sarana untuk mengejawantahkan kekufuran secara baik, mulus, tanpa hambatan. Iman yang kita pupuk, dan rasa syukur yang coba ditumbuhkan, serta merta harus berhadapan dengan gelombang besar kekufuran yang sarat kemudharatan.

Kuncup syukur itu harus berdiri tegak. Tetap tegar walaupun dihajar badai kufur nan garang. Kelak kualitas kesyukuran kita akan teruji dan tidak lekang oleh hal yang membuat hambar cita rasa untuk bersyukur. Bukankah iman tumbuh dan berkualitas saat cobaan dan rintangan datang tiada henti. Justru ketika tiada hinaan, cercaan, dan hambatan, iman tumbuh tiada bergelora. Hidup ini tidak berjalan apa adanya. Ada upaya untuk membuatnya stagnan. Karena hambatan dan cobaan tiada kunjung tiba. Atau bahkan kita hindari kedatangannya. Menerima setiap pemberian Allah, betapapun kecilnya, merupakan sikap serta rasa syukur.

Bila kita membiasakan diri dengan menerima ketetapan dan pemberian Allah dengan perasaan cukup (qonaah), niscaya kita akan kaya. Dikayakan oleh Allah SWT.

Hidup kian bermakna saat kita pandai mensyukuri semua yang diberikan Alah pada kita, manusia.

Nikmat dunia adalah ujian. Segala hal yang Allah berikan di dunia ini merupakan sarana untuk menguji siapa yang paling baik perbuatannya di antara kita.

Ilmu yang Allah berikan pada kita, wajib diamalkan dan disebarluaskkan pada masyarakat banyak. Agar kelak ilmu yang kita miliki membuahkan hasil dan mewujud pada perubahan dan perbaikan peradaban yang hari ini kian massif dan tidak beradab. Banyak orang pintar tetapi tidak memberi kontribusi apa-apa pada komunitasnya. Yang ada hanyalah kerusakan yang ditimbulkan akibat ilmu dan kemampuan yang dimilikinya. Kufur terhadap ilmu yang Allah berikan adalah tidak mengamalkannya di jalan Allah. Atau berbuat kerusakan bersandar pada ilmu yang dimilikinya.

Karena sifat dan karakteristik manusia adalah angkuh dan menyombongkan diri. Kedua sifat tersebut dekat dengan kekufuran. Sampai-sampai Allah Swt memberi peringatan secara berulang-ulang.

فَبِأَيِّ آلَاء رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ

“Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?." [QS: arrahman: 13]

Betapa manusia adalah mahluk yang sering berbuat kekufuran. Walaupun sifat tidak pernah puas selalu menghantui dan terus saja mengikuti kita kemanapun pergi, namun kita tak perlu khawatir dengan itu. Yang bisa kita lakukan ialah, menahan dan mengekang hawa nafsu kita dari kekufuran dan perbuatan yang mendekatkan pada kekufuran itu sendiri.

Inilah hakikat dan esensi syukur. Refleksi syukur itu hendaknya mampu mengeliminasi sinyal-sinyal kekufuran yang terus menerus tumbuh dan berpotensi untuk mendominasi dalam diri setiap insan. Karena syukur dan kekufuran ibarat minyak dan air. Keduanya sangat tidak mungkin disatukan. Jurang pembatas terlampau jelas untuk membedakan keduanya.

Refleksi syukur pun bisa ditafsirkan dengan berlomba-lomba melakukan kebaikan. Dan hal ini memang sangat dianjurkan. Tetapi merasa paling baik, paling taat kepada Allah, paling benar, paling pandai mensyukuri nikmat Allah adalah sikap yang tidak dibenarkan dalam Islam. Karena itu adalah perangkat Iblis dalam menggoda dan menggiring anak keturunan

Mensyukuri karunia Ilahi dapat dilakukan dengan beragam cara. Tidak hanya mengucapkan Alhamdulillah saja. Rasa syukur itu mengejawantah. Syukur itu merealitas dalam kehidupan sosial dan pribadi kita.
Kita dapat mendeteksi sikap dan perilaku diri sendiri.